Rabu, 20 Maret 2013

Dimenticato

"Gadis itu hanya meringis kecil sambil menutup mata karna sakit yang di rasakan tidak setara dengan kenyataan bahwa ia sungguh payah dalam mengingat kenangan yang hilang. Terlebih lagi, ia merasa sebagian kecil dirinya menolak untuk mengingat apa yang terlupakan. Seburuk itu kah hingga ia dirinya sendiri menolak untuk mengingatnya lagi?"



"Lagi?" tanya Naraya pada seorang pria di hadapannya. Pria itu hanya menangguk singkat sebagai jawaban tidak sanggup melihat eskpresi kecewa yang sudah tercetak jelas di wajah Naraya. Gadis itu menarik nafas, ia sudah tau bahwa akan selalu seperti ini yang tidak ia mengerti adalah mengapa sakitnya masih terus terasa bahkan ketika ia sudah tau akan mendapat jawaban yang sama setiap harinya?

"temani aku makan Kris" Naraya melangkah menuju meja makan di ikuti pria yang bernama Kris.

"duduk disini" Naraya menunjuk tempak duduk di sampingnya. Lagi-lagi Kris menuruti perintah Naraya untuk duduk di hadapan gadis itu. Beberapa wanita paruh baya datang membawa menu sarapan, Naraya memakan makanannya tanpa berselera di pandangnya meja makannya yang mewah dan panjang itu

"Untuk apa mereka membuat meja makan semahal ini bila hanya aku seorang diri yang akan menggunaknnya? aku bahkan lupa kapan terakhir kali makan bersama mereka disini" gumam Naraya tanpa sadar bahwa Kris mendengarnya dengan ekspresi wajah sedih.

Selesai makan Naraya berangkat menuju sekolah di antar Kris seperti biasanya. Kris bukan hanya supir, ia adalah pengawal pribadi bagi Naraya yang selalu menemani kemanapun gadis itu pergi. Baru setengah perjalanan mobil yang di kendarai Kris berbelok memasuki sebuah pemakaman umum Kris menghentikan mobil membalikkan tubuhnya untuk bicara pada Naraya namun gadis itu seakan bisa membaca pikiran Kris

"pergilah aku tidak mungkin menghalangimu mengunjungi makam orang tuamu asal jangan buat aku terlambat tiba disekolah" katanya tanpa menatap Kris. Kris tersenyum singkat, dengan dua buket bunga ia keluar dari mobil menuju tempat peristirahatan terakhir kedua orang tuanya.

Naraya menatap Kris melalui kaca gelap mobilnya, pria itu sedang menutup mata seperti berdo'a tidak lama ia membuka matanya, menyentuh pelan batu nisan ke dua orang tuanya seraya tersenyum lirih kemudian ia berdiri berjalan kembali menuju mobil.

*****-----*****

Naraya merasa heran dengan keadaan sekolahnya yang lebih ramai dari hari biasanya.

"ada apa ini?" tanya Naraya lebih pada dirinya sendiri. Naraya turun dari mobil setelah Kris membukan pintu untuknya, gadis itu keluar dengan mata yang memandang sekitar bingung.

"ada apa?" tanya Kris

"kenapa sekolah ramai sekali hari ini?" belum sempat Kris menjawab seseorang berteriak memanggil Naraya sontan keduanya menatap sumber suara yang tengah berlari menuju mereka.

"Naraya! hmm pagi Kris.." wajah gadis itu tampak sedikit malu-malu menatap Kris.

"Alika sampai kapan kau akan terus menggoda pengawalku?" Naraya mendesah kesal melihat kelakuan sahabatnya itu. Gadis yang di panggil Alika itu tertawa ringan

"ada apa ini? kenapa sekolah kita ramai sekali?" Naraya mengalihkan pembicaraan. Alika menatap Naraya heran.

"kau tidak tahu?"

"haruskah aku tahu?"

"di aula sedang di adakan gladi resik tim drama kita yang akan mengikuti perlombaan tingkat internasional minggu depan. Saat ini mereka akan menunjukkan usaha kerasnya selama ini di hadapan seluruh sekolah makanya baik ketua yayasan, donatur bahkan orang tua murid-murid datang untuk menyaksikan pertunjukan hari ini. bagaimana kau bisa lupa kegiatan seperti itu huh? kau dulu bagian dari ti.." Alika tidak melanjutkan kata-katanya ia sadar ada yang seharusnya tak di ucapakan. Alika memandang Naraya panik, sahabatnya itu  sedang menatap ke arah aula, pandangannya sarat akan kesedihan.

"Naraya maaf aku.." Alika tampak sulit meneruskan kata-katanya. Naraya menatap sahabatnya mencoba untuk tersenyum

"Tidak apa-apa Alika, aku memang bagian dari mereka kan? sampai kecelakaan itu menghilangkan ingataku.. aaah kapan ingtanku kembali?? aku ingin bisa cepat-cepat kembali berlatih bersama mereka" Naraya memasang ekspresi pura-pura kesal karna tidak mampu mengingat kenangannya yang hilang.

"jangan paksakan dirimu Na, ingatan itu pasti akan kembali dengan sendirinya" Kris tersenyum seraya mengacak singkat rambut Naraya. Naraya menatap Kris, bukankah sewajarnya ia marah? bagaimana bisa seorang pengawal menyentuh apalagi mengacak-acak rambut tuannya? namun Naraya malah merasa nyaman, setiap kali Kris menasehati dan mengacak-acak rambutnya.

"Al, ayo kita ke aula" seru Naraya menarik lengan sahabatnya

"eh? aula? kamu mau nonton?

"iya! semoga bisa membantu untuk mengembalikan ingatan yang terlupakan olehku" jawab Naraya mantap. ia melangkah cepat sedangkan Alika hanya pasrah di tarik oleh Naraya, ia menoleh menatap Kris seperti bertanya apa yang harus kulakuan Kris hanya tersenyum sambil melambaikan sebelah tangannya.

BRUK!

"au!" teriak Alika mengusap dahinya karna ia menabrak bagian belakang tubuh Naraya yang tiba-tiba berhenti. Naraya menoleh

"eh? maaf Al hehehe"

"kenapa tiba-tiba berenti sih?" Alika masih mengusap dahinya. Naraya seperti tidak mendengarkan keluhan sahabatnya ia malah berlari mendekati Kris.

"Kris ikutlah dengan kami ke aula" tanpa menunggu jawaban Kris ia menarik lengan pria itu lalu setengah berlari menuju Alika

"ayo!" Naraya menggandeng lengan Kris dan Alika dengan semangat sedangkan di belaknganya Kris dan Alika hanya bisa pasrah.

*****-----*****

Suara tepuk tangan dan teriakan seketika memenuhi aula sekolah saat pertunjukkan drama berakhir. Semua pemain muncul memberi penghormatan terakhir sambil membungkukkan badan di atas panggung kehadapan seluruh penonton yang memenuhi aula.

"WAW!" mereka keren banget!!!" Naraya masih bertepuk tangan dengan semangat, ekspresinya terlihat sangat terpesona dengan apa yang baru saja di lihatnya. Senyum Kris mengembang dengan sendiri melihat ekspresi Naraya

"kamu dulu gitu kok Na"

"benarkah? bagaimana kau bisa tahu?"

"aku kan pengawalmu bagaimana aku bisa tidak tahu huh?" Kris tertawa geli ketika melihat Naraya menepuk dahinya

"haa pertanyaan bodoh Naraya.." ia berkata lebih pada dririnya sendiri

"eh mau kemana Al?" tanya Naraya saat Alika bangun dari tempat duduknya

"itu ada temenku Na bentar ya aku mau ngucapin selamat dulu" Alika pergi dengan langkah cepat lalu segera memeluk temannya, mereka terlihat sangat asik dalam obrolannya.

Naraya mengedarkan pandangannya keseluruh panggung lalu pandangannya terpaku pada seorang siswa yang sedang di peluk oleh ibunya, sedangkan sang ayah mengusap pelan pundaknya sambil tersenyum tercetak jelas bahwa mereka sangat bangga memiliki anak seperti itu, siswa itu juga tampak memeluk erat ibunya sambil tersenyum lebar pada ayahnya.

"Kris.." Naraya tak mengalihkan pandangannya

"sewaktu aku pentas dulu, apa orang tuaku pernah melakukan hal seperti itu?" Kris mengikuti arah pandangan Naraya seketika tubuhnya menegang. buru-buru ia menatap gadis itu dengan khawatir.

"ah aku harus buru-buru kembali ke atas sana! tidak sabar rasanya melihat ekspresi seperti itu dari kedua orang tuaku, iya kan Kris?" ia menoleh pada Kris yang menatapnya khawatir.

"hei! aku baik-baik saja! jangan terlalu mengkhawatirkanku seperti itu" Naraya menyenggol lengan Kris pelan sambil tertawa. Kris tak bergeming.

"eh Kris aku ke kamar mandi sebentar, kau tunggu disini" buru-buru Kris menahan lengan Naraya saat gadis itu hendak pergi

"aku temenin" Kris ikut berdiri tapi kedua tangan Naraya di atas bahunya memaksa Kris untuk duduk lagi.

"aku mau ke kamar mandi Krissss bagaimana mungkin kau ikut hah? tunggu disini saja" kata-kata Naraya lebih terdengar seperti perintah, mau tak mau Kris menurut pandangannya tak lepas dari gadis itu hingga menghilang di balik pintu aula.

*****-----*****

10 menit kemudian...

"gak ada Kris.. kamu yakin dia ke kamar mandi?" tanya Alika panik. Kris mengangguk lemah.

"harusnya aku gak biarin dia pergi sendiri setelah dia ngeliat keluarga yang lengkap tadi.. seharusnya aku tahu kalo dia.." Kris tidak menyelesaikan kata-katanya karna Alika buru-buru menenangkannya, di saat seperti ini tidak semestinya Kris menyalahkan dirinya sendiri.

"sekarang kita cari keliling sekolah dulu ya, aku juga bakal minta bantuan yang lainnya. Kamu coba ke satpam tanya apa dia ngeliat Naraya keluar atau enggak" kata Alika yang langsung di setujui Kris.

Setelah seluruh bagian sekolah di periksa mereka masih tak menemukan keberadaan Naraya.

"Naraya kamu di mana..." suara Kris terdengar lirih. di enyahkannya bayangan-bayangan buruk yang mungkin terjadi pada gadis itu.

"Al aku mau coba cari Naraya di tempat lain, kamu segera hubungi aku ya kalo ketemu dia" tanpa menunggu jawaban Alika, Kris segera berlari menuju mobilnya. Alika menatap kepergian Kris dengan rasa tak karuan. tidak jauh dengan apa yang di rasakan oleh Kris, Alika juga takut sesuatu yang buruk terjadi lagi pada sahabatnya, selama ini ia sudah cukup merasa bersalah karna selalu berbohong pada Naraya. Alika menutup mulutnya, menahan suara tangis yang hampir meledak sementara air matanya sudah mengalir tak tertahankan.

*****-----*****

Suasana jalan raya padat, Naraya terlihat duduk sendiri di sebuah halte, pandangannya menatap sekitar tanpa tujuan. Ia merasa bosan, tidak tau harus kemana karna ia yakin saat ini Kris sedang memeriksa semua tempat yang mereka biasa datangi untuk mencarinya. Naraya menggigit bibirnya

"maafkan aku Kris" suaranya lirih

Bukannya ia sengaja membuat Kris, Alika serta yang lain panik mencarinya hanya saja Naraya sedang ingin sendiri untuk mencoba mengingat kepingan-kepingan kenangan yang terlupakan tapi sepertinya kenangan itu menolak untuk muncul memberikan peringatan melalui sakit di kepala. Gadis itu hanya meringis kecil sambil menutup mata karna sakit yang di rasakan tidak setara dengan kenyataan bahwa ia sungguh payah dalam mengingat kenangan yang hilang. Terlebih lagi, ia merasa sebagian kecil dirinya menolak untuk mengingat apa yang terlupakan. Seburuk itu kah hingga ia dirinya sendiri menolak untuk mengingatnya lagi?

Naraya menghembuskan nafas lemah, membuka kedua mata, di tatapnya lagi lingkungan sekitar yang padat kendaraan serta orang berlalu lalang dengan aktivitas masing-masing. Naraya beranjak dari duduknya, ia rasa cukup untuk membuat Kris panik. Naraya memilih jalan kaki karna jarak halte dan rumhanya yang tidak terlalu jauh.

"NARAYA!!!"

Baru beberapa langkah Naraya mendengar sebuah suara meneriaki namanya, pemilik suara itu berada di sebrang jalan. Dahinya mengkerut, di tatapnya datar gadis yang sedang melambaikan kedua tangan tinggi-tinggi padanya, dengan senyum mengembang.

"Wait! i'm coming" selesai berkata gadis itu buru-buru berlari menuju Naraya saat lampu penyebrangan jalan hampir berubah merah.

"Naraya!!!!" ah i miss you so much na!! pas banget ketemu kamu di sini, aku memang mau kerumahmu sekalian kasih surprise hihi maaf ya pulang gak bilang-bilang" serta merta ia  memeluk Naraya setelah mereka berhadapan, tubuh Naraya membeku di tempat ia mencoba mengingat-ingat di mana ia mengenal gadis yang sedang memeluknya erat ini. Merasa tidak mendapat respon yang di harapkan gadis itu melepas pelukannya, menatap Naraya dengan ekspresi bingung.

"emm maaf, kita pernah kenal?" tanya Naraya menyerah dengan senyum lemah.

*****-----*****

Jantung Naraya semakin berdetak semakin cepat, kakinya sudah lelah di pakai terus berlari dari halte hingga rumahnya, pandangan gadis itu sedikit kabur akibat tertutup air matanya yang terus mengalir. Naraya membuka pintu cepat, memaksa kakinya sekali lagi untuk menaiki tangga menuju kamarnya di lantai 2.

"Non Naraya kenapa? non?!! nooon?!!! kenapa pulang sendiri?" Naraya seperti tak mendengar suara pembantu yang mengkhawatirkan keadaannya, ia tahu pasti tampangnya saat ini berantakan tapi ia sudah tak perduli sekali lagi percakapannya dengan gadis bernama Jessica di halte bus tadi terdengar memenuhi kepala Naraya.

"ah iya kamu lupa ingatan ya? aku Jessica kita selalu sekelas sejak kecil, sampe waktu SMA aku harusmelanjutkan sekolahku ke luar negri. Aku juga turut berduka cita ya na atas meninggalnya orang tuamu, maaf aku gak bisa hadir ke hari pemakaman mereka saat itu"

Naraya terduduk di depan pintu kamarnya. Suara tangis gadis itu semakin keras, mengisyaratkan sakit yang tak tertahankan.

"enggak... mana mungkin mama papa udah meninggal... mereka sekarang masih sibuk bekerja di luar negri.. enggak mungkin mereka meninggal.." Naraya mencoba meyakinkan diri sendiri, di paksa tubuhnya untuk bangkit dengan menjadikan kenop pintu sebagai sandaran, mencoba menenanngkan diri, di hapus air mata di pipinya walau percuma karna air matanya seakan tak mau berhenti. Dengan sebuah tarikan nafas panjang Naraya membuka pintu kamar, ia harus memastikannya.

*****-----*****

Kris masih mencoba mencari Naraya ke tempat-tempat yang biasa mereka datangi namun gadis itu tak ada. di tengah kepanikan, ponselnya bergetar dengan sigap tanpa melihat nama yang muncul di layar Kris menekan tombol "jawab"

"Halo Naraya?? kamu di mana??? aku dari tadi nyariin kamuu" Kris mendahului sang penelpon bicara dengan suara panik

"Tuan Kris ini bibi Inah.."

"ah maaf bi aku kira Naraya, kenapa bi?" suara Kris sudah lebih tenang

"non Naraya ada di rumah tuan" seketika perasaan lega memenuhi hati Kris mendengar jawaban bi Inah. sayangnya perasaan itu tak bertahan lama

"tapi.. non Naraya pulang sambil nangis tuan.. sebaiknya tuan Kris segera pulang ya" Kris segera berlari menuju mobilnya, menginjak pedal gas dalam-dalam tanpa memperdulikan keadaan sekitar. fokusnya saat ini hanya ada pada Naraya. Ia takut sesuatu yang buruk di alami gadis itu lagi.

*****-----*****

Bibi Inah langsung membuka pintu saat mendengar mobil Kris memasuki halaman rumah. Pria itu langsung berlari menuju kamar Naraya di lantai dua. pintu kamar di buka keras. Naraya sedang duduk di depan laptop, sedikitpun tak menyadari ke hadiran Kris. tubuh Kris seketika menegang, nafasnya terdengar satu-satu akibat berlari.

"Naraya.." bisiknya pelan. Naraya menoleh, seketika hati Kris seperti di tusuk beribu-ribu jarum sakit sekali. Wajah Naraya pucat, air mata terus mengalir membentuk aliran sungai kecil, matanya terlihat sembab menandakan sudah lama menangis, ekspresinya sarat kesedihan.

"kak Kris.." suaranya hampir tak terdengar namun Kris tahu jelas dua kata yang di katakan Naraya.

"kenapa kakak bohong sama aku.." Naraya, adik kecilnya itu mencoba bicara dengan sisa-sisa tenaga menuntut penjelasan. Kris tak sanggup bergerak, ia sedang berusaha mengontrol emosi agar tak ikut menagis di depan adiknya. Ya, Kris yakin ingatan Naraya pasti sudah kembali seutuhnya, ia sudah ingat bahwa kedua orang tua mereka sudah meninggal ketika kecelakaan yang mebuatnya lupa ingatan. ia sudah ingat bahwa pengawalnya selama ini adalah Kris satu-satunya kakak yang ia miliki.

"kenapa aku bisa berfikir kalo mereka jahat, tak memperdulikanku, sibuk dengan pekerjaan padahal sebenarnya mereka.." Naraya tak lagi bicara, hanya isak tangisnya yang terdengar. ia menutup wajah dengan kedua tangan mencoba meredam bunyi tangisnya.

Kris segera mendekat melihat keadaan adiknya yang semakin kacau, di raihnya kedua tangan Naraya memaksa kedua kakak beradik itu untuk saling menatap di mata. Kris tersenyum lemah.

"ini salah aku na, kecelakaan itu terjadi saat kalian mau jemput aku di bandara. Aku yang gak pernah pulang terlalu asik dengan hidup baruku di luar bikin kamu sebel karna aku melupakanmu, dokter bilang kamu melupakan kenangan yang menyakitkan dan menggantinya dengan khayalan kamu sendiri, itu mungkin saja terjadi untuk kasus sepertimu" suara Kris di paksa setenang mungkin, di hapusnya sisa-sisa air mata yang mengalir di pipi adiknya.

Dekat jarak sedekat ini Kris bisa melihat jelas kesedihan di mata adiknya, tusukan di hati Kris semakin terasa keras dan menyakitkan. Ia tak tahan lagi, di peluknya tubuh Naraya untuk menyembunyikan air matanya sendiri, Naraya memeluk kakaknya erat di iringi suara tangisnya yang semakin keras mewakilkan rasa sakit yang sedang di rasakannya, sedangkan Kris mencoba menahan agar suara tangisnya tak pecah.


*****-----*****
Senja sore itu sedikit lebih gelap dari biasanya, seakan mengerti apa yang di rasakan Kris dan Naraya. sebuah mobil terparkir di depan pemakaman umum. Naraya duduk di antara dua batu nisan, tatapannya sarat kepedihan.Di sentuhnya kedua batu nisa itu

"mama.. papa... maafin aku baru sekarang datang.." bisiknya lirih. Kris yang berdiri di belakang tahu adiknya sedang meangis lagi, namun tidak ada suara yang keluar hanya saja pundak kecil adiknya terus naik turun dengan cepat. Kris duduk dan memeluk Naraya dari belakang

"mulai besok, kita bisa setiap hari kesini kok na.." bisik Kris untuk menenangkan adiknya. Naraya hanya mengangguk pelan.

Di sela rasa sakit yang mendominasi perasaannya, Kris juga merasa lega karna sekarang tidak ada lagi yang harus di tutupi dari adiknya, ia berjanji akan memberikan perhatian penuh pada Naraya sebagai pengganti orang tua mereka.


END

Tidak ada komentar:

Posting Komentar